Mencermati informasi yang berkembang di berbagai media mengenai Ujian Nasional (UN). Sepertinya apapun bentuk informasi yang disajikan semua itu mengkerucut pada satu kata, yaitu kelulusan. Asumsi ini diperkuat oleh aktivitas para orang tua atau guru di sekolah untuk melakukan berbagai upaya intensif bahkan masif dengan tujuan sebuah kata yang nantinya akan menjadi predikat pada siswa ketika mendapatkan hasil akhir dari UN-nya. mau tau selanjutnya,,,,baca selengkapnya
Lebih dari itu, pimpinan daerahpun melalui dinas pendidikannya tidak lupa untuk menetapkan patokan persentase yang akhirnya bertambahlah ‘detak jantung’ untuk mencapai kelulusan itu. Ditambah lagi dengan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No 74 dan 75 tahun 2009 tentang UASBN SD/MI serta Ujian Nasional SMP/MTs, SMPLB, SMA/MA, SMK Tahun Pelajaran 2009/2010 yang mempercepat pelaksaan UN dari tahun sebelumnya. Apakan daya sang siswapun harus siap menjadi mesin yang harus bekerja lebih dari biasanya.
Percaya atau tidak, itulah takdir yang terjadi di dunia pendidikan terkhusus dalam tragedi UN ini. Dan jika tidak ada halangan, hari ini (Senin, 22 Maret) periode UN utama tingkat SMA/Sederajat telah dimulai. Masih ada kesempatan kita untuk memformat mindset yang selama ini mengekangi arti kelulusan dalam pelaksanaan UN. Diantaranya adalah, pertama pastikan bahwa pelaksanaan UN bersih dari berbagai upaya untuk menghalalkan segala cara. Semua pihak yang terkait hendaknya menahan diri, serahkan persoalan ujian untuk dikerjakan secara fair oleh peserta didik. Salah-benar adalah realitas dalam ujian. Tapi jika sudah tertanam niat untuk melakukan ‘pertolongan’, apalagi telah diketahui sang siswa. Diyakini yang terjadi adalah hilangnya sikap kepercayaan, baik itu kepada yang akan menolong, terlebih lagi kepada siswanya.
Kedua, upayakan semaksimal mungkin untuk menciptakan suasana yang kondusif. Kondusif di sini bukan berarti kaku dan penuh dengan ketegangan. Kondusif yang dimaksud adalah suasana yang santai tetapi penuh dengan keseriusan. Tak perlulah sampai ada pasukan khusus yang mengawasi ujian, apalagi jual tampang seram. Jikapun ada pengawas, maka lakukanlah upaya pengawasan yang tidak mengganggu aktifitas ujian dan psikologis siswa.
Begitu juga untuk para orang tua siswa dan masyarakat sekitarnya. Jangan pertaruhkan UN sebagai ajang hidup-mati anaknya. Jika tak lulus UN, maka matilah. Kesan seperti ini yang nantinya akan memunculkan kegugupan bahkan tekanan batin pada anak tersebut. Perlakukanlah seperti biasa, persis ketika mereka menghadapi hari-hari belajar biasa di sekolahnya. Sehingga dengan cara ini diharapkan mampu menstabilkan kondisi mereka untuk senantiasa tenang saat menempuh ujian yang kadang telah telah diplesetkan menjadi Ujian Na’as (UN) tersebut.
Sementara itu, untuk pemerintah yang telah membuat target mengenai hasil UN ini. Jangan jadikannya hanya sebagai hasrat untuk menambah posisi tawar sebagai pemimpin atau apapun jabatannya. Permendiknas tahun Nomor 75 Tahun 2009 dengan jelas menyatakan bahwa hasil UN hanyalah merupakan salah satu pertimbangan untuk pemetaan mutu satuan dan/atau program pendidikan. Dari pikiran sederhana, ada dua kesimpulan yang dapat kita tarik dari tujuan tersebut. pertama, jika ingin peta pendidikannya bagus, berilah gambaran yang sesuai dengan realitasnya. Bukan hanya memberikan gambaran yang bagusnya, apatah lagi dibagus-baguskan. Kedua, pemetaan yang salah akan berimplikasi kepada kebijakan yang salah. Jika kebijakan salah, hasil akhirnya timbulah perangai yang saling menyalahkan. Lantas siapa sebenarnya yang salah?
Utamakan Kejujuran, Bukan Sekedar Kelulusan
Guru mana yang tidak ingin siswanya lulus? Orang tua mana yang tidak inginkan anaknya lulus? Bahkan pernah seorang guru bercerita dengan penulis mengenai kondisinya yang sudah ‘kehabisan nafas’ memberikan pemahaman pelajaran demi kelulusan anak didiknya. Dari segi tanggung jawab guru seperti ini dapat kita apresiasikan dengan kata luar biasa. Diyakini kondisi seperti itu terjadi pada semua guru bahkan para orang tua siswa. Kita memang inginkan yang terbaik . Semua kita juga berharap dan bahkan mendo’akan agar seluruh calon pemimpin bangsa yang sedang melaksanakan UN berhasil menjawab dengan baik dan mencapai target untuk lulus.
Lebih dari itu kita juga tidak bisa menutup mata mengenai sesuatu yang lebih penting dari sekedar arti kelulusan. Ianya adalah kejujuran. Pertanyaan umum dan sederhananya adalah sudahkah kita jujur selama ini? atau kalau kita reduksikan lagi pertanyaannya dalam konteks UN, pertanyaannya akan menjadi ‘Kalau kita boleh jujur, pantaskah anak kita atau anak didik kita tersebut untuk lulus?’. Pertanyaan yang serupa juga dapat dipertanyakan kepada siswanya. Di yakini berbagai argumentasi dalam menjawab pertanyaan ini bermunculan. Arahnya tentu pembenaran diri untuk lulus. Iyakan?
Tapi, sekali lagi yang kita inginkan bukan sekedar argumennya, bukan sekedar pembenarannya. Tapi adalah kejujurannya. Itu saja. Tapi sulit bukan?
Bak kata pepatah, nasi belum menjadi bubur. Di akhir tulisan penulis ingin mengajak kita untuk bersama sama, baik para siswa, guru dan kepala sekolah, orang tua siswa, pemerintah, dan segenap masyarakat yang menginginkan kesuksesan UN. Marilah kembali kita memaknai UN bukan hanya ajang kompetisi untuk mencapai target kelulusan. Tapi UN juga ujian kejujuran. Kejujuran dalam menentukan pilihan. Kejujuran untuk masa depan. Yakinlah ‘kalah’ karena kejujuran lebih baik dari pada ‘menang’ akibat kecurangan! ***
0 Response to ""
Posting Komentar